Legislator dari Fraksi Partai Golkar itu menegaskan, selama ini banyak pesantren dan madrasah berdiri berkat inisiatif masyarakat dengan sumber dana yang terbatas. Kondisi tersebut seringkali membuat aspek teknis bangunan, seperti struktur, drainase, hingga kualitas material tidak mendapat pengawasan dan sertifikasi kelayakan yang layak.
“Pemerintah tidak boleh abai. Semangat masyarakat itu harus dibarengi dengan standar keamanan nasional bagi semua bangunan pendidikan, baik negeri maupun swasta,” tegasnya.
Ia mengusulkan agar Kementerian Agama, Kementerian PUPR, dan BNPB bekerja sama membuat program sertifikasi bangunan layak fungsi (SLF) khusus untuk lembaga pendidikan berbasis masyarakat. Pemerintah juga diminta menyediakan bantuan teknis dan pelatihan bagi pengelola pesantren agar mereka paham standar konstruksi aman.
“Keselamatan santri dan siswa adalah tanggung jawab negara. Tidak boleh lagi ada tragedi yang menimpa anak-anak kita hanya karena kelalaian teknis yang bisa dicegah,” kata dia.
Selain itu, ia menilai perlu adanya koordinasi lintas kementerian dan lembaga untuk mempercepat pengawasan dan pendataan kondisi fisik lembaga pendidikan keagamaan.
Menurut Singgih, pemerintah daerah harus menjadi ujung tombak dalam pengawasan, sementara kementerian di pusat menyiapkan peta risiko, panduan teknis, dan bantuan pembiayaan perbaikan bangunan.
Singgih juga menambahkan, Komisi VIII DPR akan mendorong alokasi anggaran khusus dalam program penanggulangan bencana dan penguatan lembaga pendidikan keagamaan di RAPBN mendatang.
“Kami akan mengawal agar anggaran Kementerian Agama dan BNPB juga mencakup program pencegahan, bukan hanya penanganan pascabencana. Pencegahan jauh lebih murah dan menyelamatkan lebih banyak nyawa,” jelasnya.
Lebih lanjut Singgih juga menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam setiap proyek pembangunan lembaga pendidikan, termasuk yang bersumber dari hibah, CSR, maupun dana masyarakat. Menurutnya, semua pembangunan yang berkaitan dengan keselamatan publik harus melewati proses verifikasi teknis dan audit publik.
“Pengawasan konstruksi bangunan pendidikan tidak boleh hanya formalitas. Pemerintah harus memastikan setiap proyek benar-benar sesuai standar, dan masyarakat harus bisa mengakses informasi soal kelayakan bangunan tempat anak mereka belajar,” tegas Singgih.
Ia mengingatkan, negara memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk menjamin keamanan setiap anak yang menuntut ilmu.
“Kita tidak boleh menunggu tragedi berikutnya untuk bertindak. Pemerintah harus menjadikan kejadian di Pesantren Al Khoziny sebagai pelajaran berharga bahwa keselamatan santri adalah keselamatan bangsa,” tuturnya. (JA. Tb)