Kamis, Maret 20, 2025
BerandaKriminal & HukumKorupsi Pertamina Patra Niaga 2018 - 2023 Rugikan Negara Hampir Rp. 1000...

Korupsi Pertamina Patra Niaga 2018 – 2023 Rugikan Negara Hampir Rp. 1000 Triliun

tabloidbongkar. com – Jika modus dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina Subholding serta Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018 sama dengan tahun 2023, maka berpotensi menjadi skandal korupsi terbesar di Indonesia.

Sebab, Kejaksaan Agung atau Kejagung mengungkapkan bahwa kerugian negara akibat kasus korupsi di PT Pertamina Patra Niaga itu bisa mencapai Rp 968,5 triliun dari tahun 2018 sampai 2023.

Dalam hitungan kasarnya nyaris Rp 1000 triliun.

Sementara itu, kerugian negara dalam satu tahun saja, yakni pada 2023, mencapai Rp 193,7 triliun.

Angka tersebut dapat lebih besar atau kecil, tergantung dari skema dan modus operandi yang digunakan tersangka setiap tahunnya, menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Harli Siregar.

“Kemarin yang sudah disampaikan dirilis itu Rp 193,7 triliun, itu tahun 2023. Makanya, kita sampaikan, secara logika hukum, logika awam, kalau modusnya itu sama, ya berarti kan bisa dihitung, berarti kemungkinan lebih,” kata Harli dikutip pada Sabtu (1/3/2025).

Kerugian negara dalam kasus ini belum final, maka dia menegaskan perlu hitungan lebih lanjut untuk menentukan total hitungan pasti kerugian negara akibat praktik korupsi ini.

Pasalnya, jumlah hitungan setiap tahun dari 2018 sampai 2023 bisa berbeda-beda.

Menurut Harli, perkiraan hitungan total kerugian selama lima tahun.

Bahwa, ada beberapa faktor yang mempengaruhi total kerugian negara, di antaranya adalah impor minyak mentah, impor BBM melalui broker, serta pemberian subsidi dan kompensasi dari pemerintah.

“Misalnya apakah setiap komponen itu di 2023 juga berlangsung di 2018, 2019, 2020, dan seterusnya. Kan ini juga harus dilakukan pengecekan,” ungkap Harli.

“Jadi, coba dibayangkan, ini kan tempusnya 2018-2023. Kalau sekiranya dirata-rata di angka itu (Rp 193,7 triliun) setiap tahun, bisa kita bayangkan sebesar apa kerugian negara,” imbuhnya.

Sementara itu berdasarkan laporan pihak Kejagung, kerugian sementara dibagi dalam 5 komponen, di antaranya:

1. Kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri sekitar Rp 35 triliun.

2. Kerugian impor minyak mentah melalui DMUT/Broker sekitar Rp 2,7 triliun.

3. Kerugian impor BBM melalui DMUT/Broker sekitar Rp 9 triliun.

4. Kerugian pemberian kompensasi (2023) sekitar Rp 126 triliun.

5. Kerugian pemberian subsidi (2023) sekitar Rp 21 triliun.

Pun, Kejagung juga menyoroti kemungkinan adanya kerugian tambahan akibat memanipulasi kualitas BBM yang didistribusikan.

Modus

Para tersangka diduga menjalankan beberapa skema korupsi, antara lain:

1. Menurunkan Produksi Kilang Dalam Negeri

Para pelaku sengaja menolak minyak mentah produksi dalam negeri dengan alasan tidak sesuai spesifikasi kilang.

Akibatnya, mereka meningkatkan impor minyak dengan melakukan persekongkolan jahat dengan mitra usaha terpilih atau broker tertentu.

2. Manipulasi Pengadaan BBM

Impor minyak Ron 90 atau lebih rendah kemudian dioplos di Depo untuk dijual sebagai Ron 92.

Dalam proses ini, Pertamina Patraniaga tetap membayar harga untuk Ron 92, meskipun yang sebenarnya dibeli adalah Ron 90 atau lebih rendah.

Praktik ini bertentangan dengan ketentuan yang berlaku.

Adapun kasus korupsi ini awalnya terungkap karena banyaknya keluhan warga terkait kualitas BBM Pertamina yang buruk.

Masyarakat geram dengan buruknya kualitas BBM ini membuat kendaraan mengalami kerusakan.

Mendapati banyaknya keluhan masyarakat, Kejagung akhirnya melakukan kajian mendalam.

“Kalau ingat beberapa peristiwa di Papua dan Palembang terkait dugaan kandungan minyak yang jelek. Ini kan pernah mendapatkan respons luas dari masyarakat kenapa kandungan Pertamax yang begitu jelek,” kata Harli Siregar.

Akibat adanya indikasi kecurangan yang dilakukan oleh beberapa oknum, harga BBM harus naik dan pemerintah pun harus mengeluarkan uang lebih untuk subsidi BBM.

“Sampai pada akhirnya, ada liniernya atau keterkaitan antara hasil-hasil yang ditemukan di lapangan dengan kajian-kajian yang tadi terkait, misalnya mengapa harga BBM harus naik dan ternyata ada beban negara yang seharusnya tidak perlu,” lanjut Harli.

“Tapi, karena ada sindikasi oleh para tersangka ini, jadi negara harus mengemban beban kompensasi yang begitu besar,” imbuhnya.

Kejagung kini telah menetapkan 9 tersangka kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang periode 2018-2023.

Dua tersangka baru ditetapkan pada Rabu (26/2/2025), menyusul 7 tersangka sebelumnya.

Dua tersangka baru tersebut adalah Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga Maya Kusmaya dan Edward Corner, VP trading operation PT Pertamina Patra Niaga.

“Jadi pada malam hari ini penyidik telah menetapkan dua tersangka,” ungkap Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung, Abdul Qohar, Rabu (26/2/2025).

Sementara itu, tujuh tersangka sebelumnya antara lain:

1. Riva Siahaan, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga.

2. Sani Dinar Saifuddin, Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional

3. Yoki Firnandi, Direktur Utama PT Pertamina International Shipping

4. Agus Purwono, VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional

5. Muhammad Keery Andrianto Riza, Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa

6. Dimas Werhaspati, Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim

7. Gading Ramadan Joede, Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.

Terkait kasus ini Pertamina menyatakan menghormati proses hukum dan siap bekerja sama dengan aparat berwenang.

Pertamina juga memastikan distribusi energi kepada masyarakat tetap berjalan lancar di tengah proses hukum yang berlangsung. (RJ. tb)

 

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Most Popular

Recent Comments