Oleh karena itu, ia menilai memang perlu ada solusi-solusi yang diciptakan. Menurutnya, para kepala daerah mesti dikumpulkan lagi oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk diberi motivasi. “Sambil kita menunggu kira-kira alokasi anggaran yang nanti menjadi transfer keuangan daerah seperti apa,” sambungnya.
Tak hanya itu, guna menanggapi berbagai gejolak masyarakat di beberapa daerah selain Pati yang menaikkan pajak, Komisi II DPR berencana akan mengadakan rapat dengan Mendagri Tito Karnavian untuk membahas hal ini.
“Saya rasa sih secepatnya kita pasti akan memanggil Mendagrinya dulu, karena kan kalau kepala daerahnya ini efek dari mungkin efisiensi, kita panggil Mendagri dulu, kita minta kepada Mendagri solusi apa yang bisa diberikan kepada daerah,” tandasnya.
Sebelumnya, ramai-ramai sejumlah daerah kompak menaikkan pajak bumi dan bangunan (PBB). Kebijakan ini sontak menjadi sasaran protes warganya. Yang terheboh adalah di Kabupaten Pati, warga tumpah ke jalan untuk memprotes. Kericuhan ini berujung dengan keputusan DPRD untuk membentuk pansus pemakzulan Bupati Sudewo.
Bupati Sudewo sempat berencana menaikkan tarif PBB hingga 250 persen. Sudewo menuturkan bahwa keputusan menaikkan tarif pajak tersebut untuk mempercepat pembangunan di Pati. Dia secara spesifik menyebut dua agenda yang menjadi prioritasnya.
“Beban kami pembangunan infrastruktur jalan, pembenahan RSUD RAA Soewondo, pertanian, perikanan, semuanya membutuhkan anggaran yang sangat tinggi,” kata Sudewo yang ogah mundur dari jabatannya, belum lama ini.
Pati bukan satu-satunya kabupaten yang menaikan tarif PBB. Cirebon, kota di Jawa Barat, bahkan mengerek pajak hingga 1.000 persen. Angkanya 4 kali lipat dari tarif yang sedianya diterapkan Bupati Pati.
Masyarakat pun telah turun ke jalan untuk menentang kenaikan tarif PBB di Kota Cirebon. Mereka menuntut supaya pemerintah membatalkan Peraturan Daerah alias Perda No.1/2024 yang menjadi dasar pengenaan PBB 1.000 persen.
Kenaikan dengan besaran yang sama juga terjadi di Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Warga membawa ratusan koin rupiah hasil dari membedah celengan untuk membayar pajak untuk memprotes lonjakan pajak PBB yang terjadi secara drastis sejak 2024.
Kabupaten Semarang juga disebut-sebut menaikan tarif PBB hingga 400 persen, meskipun kabar ini langsung dibantah oleh Pemkab Semarang. Situasi yang sama juga terjadi di Kabupaten Banyuwangi, Pj Sekda Guntur Priambodo buru-buru membantah kabar rencana kenaikan PBB 200 persen. “Tidak ada proyeksi peningkatan PAD dari objek pajak PBB yang berasal dari kenaikan tarif pada tahun 2026,” ungkapnya, Selasa (12/8/2025).
Yang jadi sorotan, kekisruhan kenaikan terjadi di saat pemerintah sedang gencar-gencarnya melakukan efisiensi anggaran. Melalui Peraturan Menteri Keuangan alias PMK No.56/2025, pemerintah akan menyasar beberapa pos anggaran dalam transfer ke daerah. Sasaran utamanya anggaran infrastruktur hingga dana otonomi khusus alias otsus.
Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi menegaskan, kebijakan naiknya Pajak Bumi Bangunan (PBB) di beberapa daerah tak ada kaitannya dengan pemerintah pusat. Semua merupakan kewenangan masing-masing pemda.
“Kenaikan-kenaikan PBB itu kan kebijakan-kebijakan di tingkat kabupaten/kota. Tidak benar (bila) kenaikan-kenaikan itu sekarang, seolah-olah itu akibat dari proses-proses yang ada di pusat. Tidak. Setiap tahun kan pasti ada daerah-daerah yang memutuskan untuk menaikan PBB,” tutur Prasetyo di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (15/8/2025).
Ia mengingatkan, kepala daerah seharusnya berhati-hati dalam mengambil keputusan, jangan sampai justru menyusahkan rakyat.
“Menjadi pemimpin itu harus terus berhati-hati, siapapun pemimpin di tingkat apapun harus berhati-hati untuk memikirkan setiap kebijakan itu, usahakan jangan menyusahkan rakyat,” tegasnya.